Memenuhi tugas individu manajemen
keuangan
Nama : Novalia
NPM : 1321050016
Jur : Perbankan
A.
Good Corporate Governance dalam Lembaga Syariah
Industri keuangan syariah telah
mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Tiga dasa warsa yang lalu, bank
syariah belum dikenal. Di awal abad ini, lewis dan algoud (2005) melaporkan
sudah 55 negara yang pasarnya sedang bangkit dan berkembang ikut menerapkan
sistem perbankan dan keuangan syariah. Sebagai industri, perbankan syariah
memiliki karakteristik yang secara umum melekat pada industri perbankan.
Pertama, ia adalah industri yang padat regulasi (highly regulated). Artinya, setiap gerak gerik dan aktivitas bank
syariah tidak luput dari ketentuan dan pantauan regulator. Kedua, aturan yang
ada diperlukan sebagai kosekuensi dari karakteristik industri perbankan, yaitu
institusi bisnis yang berlandaskan pada kepercayaan. Dalam menjalankan
aktivitas bisnisnya, yaitu intermediasi keuangan, bank pada umumnya dan bank
syariah pada khususnya, berhadapan dengan berbagai macam risiko, diantaranya:
risiko operasional, risiko pembiayaan, risiko pasar, risiko legal hingga risiko
reputasi. Oleh karena itu, bank harus dikelola dengan sangat hati-hati oleh
manajemen yang profesional dan integritas tinggi. Disinilah pentingnya konsep dan
penerapan corporate governane.
Berdasarkan UU No 21 Tahun 2008, secara
hukum terdapat peluang yang besar bagi pengembangan sektor perbankan di
indonesia, di mana Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan juga
telah mengeluarkan produk hukum yang secara khusus mengatur profesional
perbankan syariah. Adapun produk hukum yang di maksud berupa Peraturan Bank
Indonesia dan lebih teknis lagi berupa Surat Edaran Bank Indonesia, antara lain
yaitu PBI No.7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi
Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah dan terkait
dengan judul artikel ini yaitu PBI No.8/4/PBI/2006 tentang pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum[1].
a.
Pengertian
Good Corporate Governance
Good Corporate
Governance adalah suatu tata kelola Bank Syariah
yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (Transparancy), akuntabilitas (accountability),
Pertanggungjawaban (Resposibility),
Profesional (Professional) dan
Kewajaran (Fiarnes).
b.
Interelasi
antara Good Corporate Governance
dengan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Bank syariah wajib melaksakan GCG dalam setiap
kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. Pelaksanaan
GCG dalam setiap kegiatan usaha ini termasuk dalam proses penyusunan visi,
misi, rencana strategis, pelaksanaan kebijakan dan langkah-langkah pengawasan
internal. Yang dimaksud dengan “seluruh tingkatan atau jenjang organisasi”
dalam BUS adalah seluruh posisi dalam struktur Bus yang dimulai dari tingkatan
tertinggi, yaitu Dewan Komisaris dan Direksi sampai dengan tingkatan paling
rendah. Sementara itu, yang dimaksut dengan “seluruh tingkatan atau jejang
organisasi” dalam UUS adalah seluruh posisi dalam struktur UUS yang dimulai
dari tingkatan tertiggi, yaitu Direktur UUS sampai ke Manajemen terendah.
1. Pelaksanaan
Good Corporate Governance bagi BUS
Pelaksanaan
Good Corporate Governance bagi BUS
harus diwujudkan dalam beberapa hal, yaitu
1) Pelaksanaan
Tugas dan Tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi
2) Kelengkapan
dan pelakanaan tugas komite” dan fungsi yang menjalankan tentang pengendalian
internal BUS
3) Pelaksanaan
Tugas dan Tanggungjawab DPS
4) Penerapan
fungsi kepatuhan, audit internal, dan audit eksternal.
5) Batas
maksimum penyaluran dana
6) Transparansi
kondisi keuangan dan non keuangan BUS
7) Penerapan
manajemen resiko, termasuk sistem pengendalian.
Semua ini mengacu pada
perundang-undangan BI yang mengatur pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
tersebut. Pembentukan komite ini untukmemebantu kelancaran tugas pengawasan
oleh komisaris.
2. Pelaksanaan
Good Corporate Governance bagi UUS
Berbeda
dengan BUS, GCG harus diwujudkan dalam beberapa hal yaitu:
1) Pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab direktur UUS
2) Pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab DPS
3) Penyaluran
dana kepada naabah pembiayaan inti dan penyimpangan dana oleh deposan inti
4) Transparansi
kondisi keuangan dan nonkeuangan UUS
Sesuai Regulasi Peraturan Bank Indonesia
No.11/33/PBI/2009 tentang GCG bagi BUS dan UUS menyebut bahwa pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab mengacu pada perundang-undangan yang berlaku. Khusus DPS
mengacupada ketentuan BI dan perundang-undangan yang berlaku.
c.
Dewan
Komisaris
Organ perseroan yang melakukan pengawasan secara
umum atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada
direksi sebagaimana dimaksud dalam UU No.4 tahun 2007 tentang perseroan
terbatas
1. Tugas
dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris
a) Dewan
Komisaris wajib melakukan pengawasan atas terselenggaranya pelaksanaan GCG
dalam setiap kegiatan usaha BUS pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
b) Dewan
Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab direksi serta memberikan nasihat kepada direksi.
c) Dewan
Komisaris dalam melakukan pengawasan wajib memantau dan mengevaluasi
pelaksanaan kebijakan strategis BUS
d) Dewan
Komisaris dalam melakukan pengawasan dilarang terlibat dalam pengambilan
keputusan kegiatan operasional BUS.
2. Larangan
bagi Dewan Komisaris
a) Dilarang
memanfaatkan BUS untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain yang dapat
megurangi aset atau mengurangi keuntungan BUS
b) Dilarang
mengambil atau menerima keuntungan pribadi dari BUS selain remunerasi dan
fasilitas lainnya yang ditetapkan Rapat Umum pemegang saham.
c) Wajib
mengungkapkan remunerasi dan fasilitas pada laporan pelaksanaan GCG.
d.
Direksi
Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan
bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai
dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam
maupun diluar pengendalian sesuai dengan ketentuan anggaran dasar sebagaimana
dimaksud dalam UU No.40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas.
1. Tugas
dan Tanggung Jawab Direksi
a) Direksi
bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolan BUS berdasarkan prinsip
kehati-hatian dan prinsip syariah
b) Direksi
wajib mengelola BUS sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya sebagaimana
diatur dalam anggaran dasar BUS dan UU yang berlaku.
2. Aspek
Transparansi Direksi
a) Kepemilikan
saham yang mencapai 5% atau lebih, baik pada BUS yang bersangkutan maupun bank dan
perusahaan lain, yang berkedudukan di dalam dan juga luar negeri
b) Hubungan
keuangan dan keluarga dengan pemegang saham pengendali, anggota dewan komisaris
atau anggota direksi lainnya dalam lap. Pelaksanaan GCG[2]
e.
Good Corporate Governance
Penerapan Good Corporate Governance (GCG)
di lembaga perbankan syariah menjadi sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan.
Bahkan bank-bank syariah harus tampil sebagai pionir terdepan dalam
mengimplementasikan GCG tersebut. Dalam kerangka itulah IFSB (Islamic Financial Service Board), sebuah
badan penetapan standart internasional untuk regulasi lembaga keuangan islam
yang berpusat di kuala lumpur, baru-baru ini mengekspose draft GCG untuk lembaga keuangan syariah. Rencananya, draft tersebut akan disahkan pada bulan
november mendatang. Sebelum disahkan, IFSB mengharapkan masukan dari para
akademisi dan praktisi ekonomi islam di seluruh dunia. Kini draft tersebut sudah diekspose di tiga
negara, inggris (landon), lebanon (beirut), dan di indonesia (jakarta).
Perbedaan GCG syari’ah dan konvensional terletak pada syariah compliance yaitu kepatuhan pada syariah. Sedangkan
prinsip-prinsip transparansi, kejujuran, kehati-hatian, kedisplinan merupakan
prinsip universal yang juga terdapat dalam aturan GCG Konvensional.
Pengertian Good Corporate Governance menurut Word Bank, merupakan kumpulan
hukum, peraturan, dan kaidah-kaiadah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong
kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai
ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang sham maupun
masyarakat sekitar secara keseluruhan. Sementara itu dalam GCG Workshop kantor meneg PM BUMN Desember
1999, dirumuskan bahwa Good Corporate
Governance berkaitan dengan pengambilan keputusan yang efektif, yang
bersumber dari budaya perusahaan, etika, nilai, sitem, proses bisnis,
kebijakan, dan struktur organisasi yang bertujuan untuk mendorong dan mendukung
pengembangan perusahaan, pengelolaan sumber daya dan resiko secara lebih
efisien dan efektif serta pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham stakeholder lainnya.
Menurut Hessel (2001), ada tiga hal
pokok yang urgen untuk menciptakan Good
and Clean Government yaitu:
1. Pemberantasan
KKN (Korupsi,kolusi dan nepotisme)
2. Disiplin
anggaran dan penghapusan dana nonbudgeter
3. Peningkatan
fungsi pengawasan. Corporate Governance
merujuk kepada sistem dan metode bagaimana perusahaan diarahkan, ditata, atau
dikendalikan.
Corporate
Governance juga meliputi ketentuan-ketentuan hukum dan
kelaziman yang mempengaruhi arah dan tujuan-tujuan yang menggerakkan
perusahaan. Corporate Governance juga
dilihat sebagai proses pemantuan kinerja perusahaan dengan menerapkan
langkah-langkah pencegahan yang tepat yang terkait dengan konsep-konsep
seperti: transparansi, integrasi dan akuntabilitas. Mekanisme dan pengawasan Corporate Governanace disusun untuk
mengurangi inefisiensi akibat moral
hazard dan adverse selection.
GCG dan kewaspadaan Moral Hazard bahwa praktik moral
hazard sudah menjadi kebiasaan di lembaga-lembaga perbankan. Berbagai
kejadian korupsi tersebut, harus menjadi perhatian serius bagi para stakerholders bank syari’ah, baik
pemilik/pemegang saham, komisaris, direksi, karyawan (kru) Dewan Pengawas
Syariah, nasabah dan para akademis ekonomi syariah lainnya. Hal ini perlu
menjadi perhatian penting, sebab saat ini lembaga perbankan syariah sedang
menjadi idola dan berkembang sangat pesat di tanah air. Saat ini ada 29 Bank
yang telah beroperasi secara syariah dan memiliki lebih dari 620 kantor di
seluruh indonesia.
Di masa depan, kemungkinan terjadinya
korupsi dan penyimpangan di bank syariah merupan hal yang tidak mustahil, meskipun
disitu ada dewan pengawas syari’ah, karena para pelakunya bukan malaikat.
Apalagi sekarang perbankan syariah makin banyak, sehubungan dengan hal itu para
jajaran eksekutif dan pejabat bank, bukan termasuk komisaris harus ekstra
hati-hati dalam mengelola lembaga perbankan yang selalu dinilai “suci”, karena
berasal dari prinsip ilahiyah. Harus dimaklumi bahwa simbol agama tidak
menjamin sebuah lembaga menjadi bersih dari perilaku korupsi yang dilakukan
oleh oknum-oknumnya.
Danhi Gunawan peneliti sektor Bank
Indonesia, menyatakan bahwa korupsi dilembaga perbankan pada umumnya dapat
menjelma dalam tiga bentuk (1) langsung, (2) Tidak langsung, (3) Samar-samar.
Bentuk korupsi lainnya adalah seperti nepotisme penyaluran kredit yang
mengurangi potensi pendapatan bank, nepotisme penerimaan pegawai. Hal ini dapat
menzolimi orang-orang yng lebih baik, berkualitas dan lebih berhak.
Korupsi-korupsi ini harus di berantas dengan aturan Good Corporate Governance (GCG).
Oleh karena itu lembaga pengawas,
lembaga audit dan masyarakat jangan terpana dengan lebel syariah, karena bisa
saja dalam praktiknya tidak ada unsur-unsur syariahnya. Dalam penerapan GCG ini
para bankir syariah, harus benar” paham dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai
syariah yang ditegakkan oleh Rosulullah saw. Kalau tidak pencitraan bank
syariah akan jelek dimasa depan. Nabi Muhammad Bersabda “sesungguhnya aku diutus
untuk menyempurnakan akhlak”.
Prinsip-prinsip yang di tegakan dan
praktiknya Nabi Muhammad saw tersebut sangat identik dengan spirit GCG yang
dikembangkan saat ini. Dalam ajaran islam poin-poin tersebut menjadi prinsip
penting dalam aktifitas dan kehidupan seorang muslim. Yaitu, ‘adalah (Keadilan), tawazun (Keseimbangan), mas’uliyah
(Akuntabilitas), akhlaq (moral), shidiq (Jujur), amanah (Kepercayaan), tabligh
(Keterbukan), fathonah (Kecerdasan).
Keharusan tampilnya bankir syariah
sebagai pionir penegakan GCG di banding konvensional, menurut Al-Gauod dan
lewis (1999) karena permasalahan governance
dalam perbankansyariah ternyata sangat berbeda dengan bank konvensional.
Pertama, bank syariah mempunya kewajiban untuk memetuhi prinsip-prinsip syariah
dalam menjalankan bisnisnya. Karenanya DPS memerankan peran yang penting dalam governance structure perbankan syariah. Kedua, krenapotensi terjadinya information asymmetry sangat tinggi bagi
perbankan syariah maka permasalahannya agency
theory menjadi sangat relevan.
Hal ini terkait dengan permasalahan
tingkat akuntabilitas dan transparansi penggunaan dana anasabah dan pemegang
saham. Karenanya, permasalahan keterwakilan invesment
account holders dalam mekanisme GCG
masalah strategis yang harus pula mendapat perhatian bank syariah. Ketiga, dari
persepektif budaya konporasi, perbankan syariah semestinya melakukan
transformasi budayadimana nilai-nilai etika bisnis islami menjadi karakter yang
inherent dalam praktikbisnis
perbankan syariah.
f.
Urgensi Good Corporate Governance dalam praktik perbankan syariah
Penerapan prinsip” GCG menjadi suatu keniscayaan
bagi sebuah institusi, termasuk didalamnya institusi bank syariah. Hal ini
lebih ditunjukan kepada adanya tanggung jawab publik berkaitan dengan kegiatan operasional bank yang
diharapkan benar-benar mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam
hukum positif seperti UU No.1 Tahun 1995 tentang perseroan terbatas dan UU
No.21 Tahun 2008 tentang perubahan atas UU No.10 Tahun 1998 tentang perbankan,
berikut peraturan-peraturan pelaksananya.
Bank indonesia juga tidk mau ketinggalandalam
menerapkan Good Corporate Governance
. penerapan GCG telah menjadi kewajban semua bank umum yang beroperasi di
indonesia. Kewajiban tersebut diterapkan melaui peraturan Bank Indonesia
No.8/4/PBI/2006 tanggl 30 Januari 2006. Dasar pertimbangan PBI ini adalah
sejalan dengan Komite Nasional Kebijakan Corporate
Governance ketika pada tahun 2004 mengeluarkan pedoman Good
Corporate Governance perbankan Indonesia dengan alasan:
1. Bank
adalah lembaga intermediasi yang dalam menjalankan kegiata usahanya bergantung
pada dana masyarakat dan kepercayaan baik dari dalam maupun luar negeri.
2. Krisis
perbankan di indonesia dimulai akhir tahun 1997 terjadi bukan semata-mata
diakibatkan oleh krisis ekonomi, tetapi juga diakibatkan oleh belum
dilaksanakannya GCG dan etika yang melandasinya.
3. Pelaksanaa
GCG sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan masyarakat
4. GCG
mengandung lima prinsip keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab,
independensi serta kewajaran dan diciptakan untuk dapat melindungi kepentingan
semua pihak yang berkepentingan.
5. Peraturan
dan implementasi GCG memerlukan komitmen dari top management dan seluruh jajaran organisasi[3].
g.
Unit
Usaha Syariah dan Good Corporate
Governance
Beberapa Komponen yang tersusun dalam struktur
organisasi UUS dan penerapan Tata kelola perusahaan yang baik harusdilakanakan
oleh UUS mencakup beberapa hal.
1. Direktur
UUS, yang memiliki tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan berkaitan
dengan pengelolaan UUS
2. Dewan
Pengawas Syariah dalam UUS
3. Penyaluran
dana pada nasabah pembiayaan inti, wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh
deposan inti.
4. Aspek
transparansi kondisi UUS, wajib melaksanakan transparansi kondisi keuangan dan
nonkeuangan kepada para pemangku kepentingan.
5. Pelaksanaan
prinsip syariah, wajib melaksanakan pemenuhan prinsip syariah dalam kegiatan
operasional UUS. Sebagaimana diatur dalam ketentuan BI tentang pelaksanaan
prinsip syariah dalam menghimpun dana dan penyaluran dana serta jasa bank
syariah.
h.
Penilaian
Pelaksanan Good Corporate Governance
Sistem penilaian terhadap pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik atau bahasa
asingnya Good Corporate Governance merupakan
suatu syarat yang harus dipenuhi dan dilaksankan oleh instansi BUS. Hal itu
untuk mengantisipasi resiko yang mungkin membawa dampak buruk bagi instansi tersebut.
Lima faktor penilaian pelaksanaan GCG
1) pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab direktur UUS
2) pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab DPS
3) pelaksanaan
prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta jasa
bank
4) penyaluran
dana pada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh deposan inti
5) transparansi
kondisi keuangan dan nonkeuangan UUS, laporan pelaksanaan GCG serta pelaporan internal[4].
[1]
Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah, (Yogyakarta:
UPP STIM YKPN), 2014, Hlm.645
[2] Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah di
Indonesia, (Jakarta:Salemba Empat), 2013, Hlm.397-408
[3]
Muhamad, Manajemen Keuangan Syariah, (Yogyakarta:
UPP STIM YKPN), 2014, Hlm.646-
655
[4]
Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah di
Indonesia, (Jakarta:Salemba Empat), 2013, Hlm.420-422
No comments:
Post a Comment